”Sekarang tiket ke Singapura sama ke Sulawesi lebih murah ke Singapura. Ya
mending ke Singapura kalo gitu,” suatu kali saya berceloteh dengan teman saya,
membicarakan tentang biaya pesawat yang lebih murah ke luar negeri daripada ke
bagian timur negara sendiri. Ingat ini juga karena di situs jejaring sosial
banyak yang meng-upload foto mereka
saat di luar negeri.
”Kalau harga nya sama pun akan tetap pilih ke luar negeri, krena titel
’luar negeri’ itu sendiri bikin bangga,” teman saya menyahut. Memang benar sih,
kalau sudah ke luar negeri itu rasanya bagaimanaa gitu.
”Mengeksplor Indonesia itu jauh lebih mahal daripada ke luar negeri,” atau
ini gara-gara saya yang tidak pernah backpacking
ya? Ah ya, saya ingat perkataan dosen matakuliah Kesehatan Lingkungan
Kerja. Beliau hobi diving, yang
pastinya itu bukan hobi yang ’murah’.
”Ini kalian lihat, ekosistem di Raja Ampat itu sebegitu indahnya,” kala itu
pak Dosen memperlihatkan foto-foto beliau ketika menyelam di Raja Ampat.
Sebelumnya beliau menjelaskan tentang prosedur menyelam yang benar agar tidak
celaka saat bekerja di bawah air.
”Saya dulu kalo ngga dibayarin sama UNESCO juga ga akan ke Raja Ampat,” pak
Dosen tertawa. ”Bisa sampai habis tigabelas juta satu minggu di sana,” wow,
semahal itu? hem.. bisa jadi ada rupa ada harga, untuk menyelami lautan paling
produktif di dunia ini. Indonesia punya semuanya, dari kutu air sampai paus
sperma. Tapi tigabelas juta itu.... tetap saja mahal.
Ada satu teman saya yang lain, dia sangat bersemangat untuk mengajak
berkolaborasi menulis tentang kehidupan mahasiswa yang cinta dengan Indonesia.
Teman saya yang satu ini sangat semangat menjalani hidupnya sebagai mahasiswa,
makannya beliau mengajak saya untuk menulis novel yang menceritakan tentang
tema tersebut. Awalnya saya agak kesulitan mengikuti ritme kerja beliau, tapi
ditengah-tengah saya mulai bisa menyamainya. Yah walau masih tetap sering
ngaret sih hehe. Karena menulis tentang kehidupan mahasiswa yang kritis dan cinta
Indonesia –lebih menggambarkan tentang teman saya ini bukan ke saya, makannya
saya berusaha untuk mengimbangi pola pikirnya yang super itu. Saat asyik tumblr-ing, saya menemukan sebuah
artikel yang direblog oleh Kuntawiaji
(kalau yang punya tumblr pasti tahu). Yang
membuat saya melongo dan membaca artikelnya saat itu juga adalah baris
pertama yang menyebutkan bahwa ”Indonesia itu kayak cewek cantik, tajir, tapi
bodohnya minta ampun”. So Jleb banget
lho. Dari kalimat itu saya jadi berfikir banyak tentang Indonesia ini.
Indonesia yang cantik, Indonesia yang kaya... tapi Indonesia tidak bodoh.
Penghuninya lah yang bertindak bodoh. Mungkin bodoh karena tidak tahu –atau
pura-pura tidak tahu.
Ingat tentang cerita Ring of Fire? Indonesia
adalah negara dengan jumlah gunung berapi terbanyak di dunia, yaitu berjumlah
155 buah yang tersebar di pulau-pulau di Indonesia . Adanya gugusan gunung
berapi tersebut membuat tanah di sekelilingnya subur. Setiap ada erupsi, dalam
selang waktu tertentu luapan lava yang mengering itu akan menjadi lahan yang
subur. Ingat tentang Pulau Jawa tadi? Kalau lahan subur berarti akan ada
vegetasi atau tanaman yang tumbuh subur. Tanaman yang subur adalah sumber
makanan dari spesies lain. Di situ, ekosistem baru akan terbentuk. Selain kaya
akan jenis tanaman, Indonesia
juga kaya dengan berbagai jenis spesies. Kembali ke film Discover Indonesia yang kami lihat dulu, banyak sekali spesies yang
belum saya ketahui. Saya juga baru tahu bahwa orangutan di Sumatera tinggal di
pohon, sedangkan di Kalimantan orangutan
tinggal di tanah. Saya juga baru tahu, burung kasuari di Papua dapat
‘ditukarkan’ dengan seorang isteri.
Berbicara tentang spesies hewan dan
tanaman, bagaimana dengan manusianya sendiri? Bisa ditebak, Indonesia juga punya berbagai ‘jenis’ manusia. Indonesia
punya ratusan suku bangsa, yang menjadikannya kaya akan budaya dan
bahasa/dialek daerah terbanyak kedua di dunia. Suku bangsa, bahasa, dan
budaya ini terbentuk tidak secara instan. Budaya yang terjaga aman serta
diwariskan secara turun menurun tersebut membuat Indonesia semakin istimewa.
Saya adalah salah satu manusia Indonesia
bersuku Jawa. Dari lahir sampai SMA, di sekeliling saya semuanya orang Jawa.
Saya belum merasakan bagaimana rasa keberagaman yang sebenarnya. Sampai ketika saat
usia saya menuju tujuhbelas, saya merantau ke Bandung
untuk menuntut ilmu di sebuah Institut Teknologi yang cukup terkenal di Indonesia .
Dari tempat kehidupan yang baru tersebut, saya bertemu dengan orang-orang yang
membuat saya semakin merasa bahwa Indonesia itu istimewa. Pada
awal-awal kuliah, saya hanya berbaur dengan orang yang berbahasa sama, yaitu
bahasa Jawa. Agak aneh juga, seperti menjadi bahan tertawaan mendengar saya
berbicara bahasa Indonesia dengan aksen medhok
karena tidak terbiasa berbicara dengan bahasa nasional ini. Tapi karena
ciri khas ini, saya bisa memulai pembicaraan dengan teman dari daerah lain.
Beberapa ada yang bertanya “apa bahasa jawa nya kata ini?” dan beberapa juga
ingin diajari tulisan Jawa hanacaraka itu.
Memangnya apa yang bisa dilakukan
mahasiswa untuk ikut serta dalam mempertahankan budaya Indonesia ? Mungkin banyak yang
bertanya tanya tentang itu. Mahasiswa itu bisa apa? Wah, sebenarnya mahasiswa
itu bisa banyak lho karena belum terikat apapun hehe. Di kehidupan kampus yang
‘seperti ini’, kami tetap cinta Indonesia .
Mahasiswa di kampus kami banyak yang mengikuti unit kebudayaan daerah yang
dapat dikategorikan sebagai upaya pelestarian budaya. Tidak jarang juga ada
mahasiswa dari daerah satu mengikuti unit kesenian daerah satunya, contohnya
teman saya yang orang Cirebon
ikut unit kesenian Irian Jaya. Mempelajari budaya negeri sendiri itu memang
menyenangkan.
Lagi, saya bukan mahasiswa yang ikut di
unit kesenian tersebut. Tapi bukan berarti saya ngga cinta budaya, lho. Saya
dulu sempat ikut di salah satu unit kebudayaan daerah tetapi keluar karena ngga
cocok sama atmosfernya. Saya terlalu pendiam, yang lain terlalu friendly. Di sana saya jadi merasa bersalah karena
orang-orang sungkan kalau berbicara dengan saya. Ya sudah, keluar. Tapi benar, saya cinta dengan
kebudayaan Indonesia, apalagi kebudayaan Jawa. Lalu, apa patokan seseorang
‘mencintai’ budaya sendiri? Hem,
tanya saja pada diri sendiri. Mencintai kadang tidak bisa dideskripsikan, kan?
Setiap orang punya cara untuk mencintai sesuatu. Ya, dengan caranya sendiri.
Oke, sudah terlalu panjang ya kayaknya saya berceloteh tentang Indonesia.
Saya bikin artikel yang nyampe dua part ini karena sedikit merasa ’kehilangan’
Indonesia yang sebenarnya. Saya disadarkan oleh trilogi film discover Indonesia yang ditonton di
matakuliah biokonservasi. Baiklah, saya akan menemukan Indonesia yang hilang
dalam pikiran saya, dan saya tidak akan biarkan lagi Indonesia tersesat
–tersesat oleh waktu.
Bandung, 06
November 2013
Tapi sayangnya Manusia -manusia yang tinggal di Indonesia udah terjajah oleh produk luar sis.
BalasHapusfesyen, film, elektronik maunya dari luar karna semua itu emang lebih bagus dari luar. tapi coba kalo manusia indonesianya ngasi kesempatan buat Industri lokal untuk berkembang. tapi sayangnya, manusia di Indonesia ini kurang bisa menghargai apapun itu. Mereka cenderung ikut - ikutan cara negara lain menikmati hidup dan gak punya style sendiri.
tapi ngga smuanya gitu kok. kalo milih produk karena kualitas lebih bagus sih itu kan hak mereka. nah, tapi misal ada produk yang kualitasnya sama pastinya disarankan milih produk lokal hehe. sekarang kan jaman globalisasi, jadi persaingan pun bukan cuma se daerah tapi se dunia. nah, tugas kita adalah membuat bagaimana kita bisa bersaing di dunia global itu~~ begitu. kalo buat ikut-ikutan, nanti juga balik sendiri pasti. aslinya orang Indonesia mah kemanapun ga akan bisa lepas titel nya...*ini ngomong apasih* hehe.
BalasHapus