Pages

Sabtu, 04 April 2015

Short Story - Acrophobia

Sabtu, 04 April 2015
Heiho, ini saya mau share cerpen saya, yang di bikin untuk tugas SMA. iya, karena saya dulu orangnya alay *eh* jadinya cerpennya acakadut sok nyastra gitu :"""3 silakan yang punya waktu luang, dibbaca dibaca. ini dibikin *ehem* enam tahun lalu (ketauan tuanya deh :""" haha). belum tau teknik nulis yang baik, dan pemilihan topik yang baik. saya aja habis baca ulang jadi ngerasa bingung inti ceritanya apa hahaha :"""D

Acrophobia

Aku menatapnya sesaat. ”Kau serius?” dia hanya mengangguk. ”Daripada kurang kerjaan gitu mending aku antar kau ke psikiater,”
”Nggak berhasil. Sama-sekali-nggak-berhasil,” dia menekankan perkataannya pada setiap kata. Aku menentangnya ketika dia memberi ide akan pergi ke tukang hipnotis untuk menghilangkan phobianya. ”Sudah lebih dari delapan belas kali aku pergi ke psikiater dan hasilnya nihil.”
”Maaf kalau boleh tahu, penyebabnya apa sampai sampai kau terlalu takut dengan hal yang tak perlu kau takuti?” Aku bertanya dengan-sangat-hati-hati, agar dia tak tersinggung.
”Hufth....” dia menerawang, seperti memutar kembali apa yang sudah pernah direkam oleh otaknya tanpa mengatakan sesuil kata pun untukku.
***

”Ayo ke sini kalau bisa...” Kaka terus berlari, berlari menjauhiku. Padang ilalang sore ini terasa sangat ramai, padahal hanya ada aku dan Kaka.
”Hey, tapi itu kan punyaku, kau tak berhak mengambilnya!” Aku mulai berlari mengejar Kaka. Dari jarak sepuluh meter dia melambai-lambaikan topi merah berenda. Itu topiku, topi pemberian nenek yang katanya asli buatan Maroko. Topi itu istimewa karena katanya lagi, topi itu hanya ada di Maroko karena bahan baku topi itu hanya tersedia di Maroko. Topi Fest.
”Heeeeyyy!!!! Kubilang berhenti!!!!!!!” Lagi-lagi aku berteriak dan mulai melempari Kaka dengan batu-batu kecil. Dia tetap tak mau berhenti. Tiba-tiba satu menit kemudian, dia ’ditemukan’ sedang duduk di atas lantai rumput. Matanya menerawang.
”Kau sedang apa?”Aku mulai mendekatinya. Perlahan-lahan ku julurkan tanganku untuk merebut topi yang ada di tangannya. Aku gagal. Dia cekatan sekali. ”Kenapa tak kau kembalikan saja topiku?”
”Kenapa tak kau kembalikan saja tpoiku,” dia mengulangi perkataanku tadi. Kemudian Kaka mulai berlari lagi. Kulihat angin berhembus dari arah berlawanan, dan topiku pun terbang menjauh.
”Kau menghilangkannya..” aku mulai terisak. Kulihat dia merasa sangat bersalah. Dia mungkin tahu apa yang harus ia perbuat.
”Aku akan mencarikannya untukmu,” Dia menarik tanganku dan berkeliling untuk mencari topiku.
Setelah sekian menit dan sekian detik, akhirnya ketemu juga. Topi itu tersangkut di pucuk dahan sebuah pohon yang sudah mati. Kaka berlari kegirangan. Aku lebih lagi.
”Tunggu aku ya,” Kaka mulai berlari menjauhiku dan mendekati pohon itu. Dengan piawai ia memanjatnya, kemudian dia mengambil topi, dan kemudian lagi dia melemparkannya tepat ke arahku. Aku tersenyum.
Kaka mulai turun, tapi ternyata kakinya terpeleset dan jatuh. Aku mendekatinya untuk membantu berdiri.
”Kaka, kau tak apa?” aku berteriak sambil terus berjalan mendekat. Kulihat dia hanya tertawa kegirangan dan mulai berlonjak-lonjak di atas tanah.
”Jangan berdiri dulu, nanti jatuh,” aku memperingatkan, karena memang di belakangnya terdapat jurang yang dalam.
Aku mendekat dan ’akan’ menggapai tangannya. Tapi tiba-tiba tanah yang dipijak Kaka terlihat retak, dan BRAK!
Aku pusing, tak bisa ku jelaskan apa yang kulihat sepersekian mili detik yang lalu. Aku menatap ke bawah. Aliran air mengalir, menyapu sisa reruntuhan tanah...
***
            ”Bagaimana kalau kita main ayunan?” Aku menyarankan sesuatu yang mungkin bisa membantu permasalahan yang dihadapinya.
            ”Ha? Ayunan?” dia menatapku konyol. OK. Ide gila. Usia enambelas tahun bermain ayunan? Hal yang konyol.
            ”Ha..ha.. aku juga. Dapat ide dari mana ya?” Aku malah bingung. ”Okelah kalau begitu permainan apa yang sekarang kau inginkan?”
            ”Permainan?” dia terlihat bingung. OK lagi lah, aku memang orang yang membingungkan. Sial.
            ”Hm...apa ya,” aku terdiam sesaat. Suasananya sekarang agak kaku. Aku tak tau harus berbuat apa. Salah-salah aku membuatnya berteriak dengan apa yang ada di kepalaku. Aku ingin main Flying Fox. Hah, nyari mainan kaya gitu ada di mana coba? Dan satu masalah lagi, tak mungkin aku mengajaknya karena dia seorang Acro.
            ”A..hm..” dia juga berfikir. ”Sebenarnya aku mau bilang sesuatu,”
Kalimat itu dibaca dengan terbata-bata. Mungkin ada suatu rahasia yang ingin ia sampaikan kepadaku. Sangat rahasia, sampai-sampai saat ini tubuhnya mendepet tubuhku. ”Kita kan sama-sama perempuan, jangan menatapku seperti itu. Aku nggak akan melakukan sesuatu padamu,” dia menatapku tak percaya ketika aku mengeluarkan reaksi dengan tatapan agak aneh. ”Kau Venustraphobia  ya,”
            ”Hem?” aku bingung. ”Apa maksudmu?”
            ”Takut wanita cantik,” dia tertawa. Ha,Ha, dan Ha… lucu sekali.
            ”Apa yang akan kau katakan?” Aku membuka pembicaraan. Lagi.
            ”Aku mau m-e-n-g-h-i-l-a-n-g-k-a-n acrophobia ku. Kau mau membantuku?”
Aku terdiam. “Temtu saja. Tapi apa yang harus aku dan kau perbuat?” bingung.
            ”Hm..” dia berfikir sejenak. ”Bagaimana kalau begini?” dia membisikkan sesuatu padaku.
            ”Hah, ternyata bukan ide gila. Kukira kau mau berlatih bungee jumping,” aku terbahak. ”Ok. Kapan kau mulai?”
***

Minggu pagi yang cerah. Seperti minggu-minggu sebelumnya, aku dan dia mulai berjalan-jalan untuk menghilangkan hal yang tak perlu ditakuti-nya. Minggu kemarin, seperti mengulang masa kecil. Aku dan dia ’belajar’ untuk naik dan turun tangga. Kemudian eskalator, dan kemudian lagi naik lift berdinding hitam, dan lagi, mencoba meningkat ke dinding transparan.
Sepertinya keadaannya mulai membaik. Dia tak lagi takut naik ’ayunan’. Hah. Hal konyol pertama yang kusarankan untuknya di hari pertama terapi alaLIA-ku. Tapi anehnya kenapa dia menerima ajakanku untuk bermain ayunan. Suatu sore di taman anak-anak... dia dengan rasa bahagia menaiki ayunan –walau beberapa kali saat percobaan pertama ia berteriak histeris dan ingin turun– dan tidak merasa bahwa beberapa pasang mata anak balita melihatnya dengan tatapan aneh. Fine. OK. Latihan yang menyenangkan.
***

Minggu keempat latihan. Hari yang melelahkan. Dia mengajakku ke Mall.
”Ok. Kau mau apa lagi?” aku lagi -dan lagi- lagi membuka pembicaraan. Selalu aku. Yah, karena dia memang pendiam.
”Hm... apa ya?” Dia berfikir sejenak. ”Minggu yang lalu naik lift, yang lalunya lagi naik eskalator, yang lalunya lagi naik ayunan. Sekarang?” Dia memandangku dengan tatapan menggoda. Aku memasang wajah muram. Berteman dengan acro memang kurang menyenangkan. Cukup hiperbolis kurasa. Huft. Dan sekarang setidaknya dia mengerti apa yang kurasa.
”OK. Aku janji, ini minggu terakhir aku mengganggumu,” Dia menatapku. Aku tersentak. Dia betul-betul paham.
”Heuhm...”aku berdeham untuk menghilangkan kecanggungan. ”Ayo kita mulai latihannya lagi. Kau mau apa?”
”Bagaimana kalau naik ke lantai paling atas Mall ini?” Dia memandangku. Aku tak percaya.
”Kau berani?” Aku masih syok. Kulihat dia mengangguk mantap. ”...tapi jangan lihat ke bawah ya,”
Akhirnya jadi juga. Latihan terakhir untuk sang acro. Pasti jadi hari yang bersejarah. Dia sudah berusaha maksimal. Walau terapi yang dia lakukan denganku ini sedikit aneh, tapi berhasil juga.
”Wa... aku berhasil sampai atas,” Dia megucapkan kata bahagia itu dengan cara yang tidak wajar.
”Bagaimana perasaanmu?” Aku ikut bahagia walau aku tak yakin dengan nada ucapannya.
”Hm..ya...” Dia menerawang. Di otaknya mungkin sedang diputarkan drama monumental di sepanjang hidupnya.  Mungkin apa yang menyebabkan dia menjadi acrophobia. Aku tak tahu. Itu hanya dugaan.
”Hola?” aku mengayunkan tanganku di depan mukanya. Dia tersadar dari lamunannya.
”Hm.. ya,” Dia terdiam lagi. “Kurasa saat ini aku merasa bahagia,” Dia tersenyum. Aku jadi tak tega pernah menganggapnya kurang menyenangkan. Aku tak bisa menyalahkan kelainan yang ada di dirinya. Semua ini bukan atas kehendaknya. “Li, aku mau minta maaf kalau selama ini aku membuatmu kecewa atas kelakuanku, atas semua kebodohan yang pernah kulakukan, yang selalu membebanimu, yang..”
“STOP!”Aku tak tahan mendengar semua itu. Aku menarik tubuhnya dan kami berpelukan. Sebagai sahabat. Ya, aku ingin menganggapnya sahabat, atau bahkan saudara. ”Aku yang harus meminta maaf, aku tidak pernah jujur tentang apa yang ku rasa,”
”Hm,” Dia perlahan melepaskan pelukanku. ”Sudahlah, kita jalani saja,” Dia lalu berlari kecil dengan senyum yang melebar. Menjauhiku. Aku mengikutinya dengan langkah kecil. Dia melempar sesuatu padaku. Sebuah topi berwarna merah. Dé javu.. apa ini?
”Itu buatmu,” dia berteriak. Sekarang dia bersandar di pagar pembatas terluar di areal lantai teratas Mall ini.
”Kau serius?” Aku balas berteriak. Kulihat dia tertawa gembira dan melonjak-lonjak seperti anak kecil. . Dé javu. Lagi. Sial. Kenapa ini? Seperti kejadian yang pernah...
Aku tersadar dia ternyata bersandar di pagar yang baru dibagun. Sekatnya terbuat dari bambu. Apa-apaan ini? Mana tanda dangernya? Dan aku pun baru sadar ternyata tanda itu ditutupi oleh punggungnya.
”Jangan melonjak!” Aku mengingatkan. Dia tersenyum dan bersikap santai. Sikunya bersandar pada pagar bambu tanpa rasa takut.
”Lihat, acro ku hilang,” Dia tersenyum lagi. Aku agak lega. Ku panggil dia ke sini. Dia menggeleng. Rupanya dia mencoba mengetes keberaniannya lebih dalam. Dia melakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan. Memanjat pagar bambu itu. Bambu itu rapuh, dan BRAK!
…………………………………
Runtuh.

 Aku pusing, tak bisa ku jelaskan apa yang kulihat sepersekian mili detik yang lalu. Aku menatap ke bawah. Aliran air mengalir, menyapu sisa reruntuhan tanah...
Apa-apaan ini?
***

*Acrophobia è rasa takut yang ekstrem dan tidak wajar terhadap ketinggian.


2 komentar:

  1. waaaa ini semacam cerita~ yang kusuka~ alurnya~ dan endingnya~

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini asal banget bikinnya, pas dibaca lagi selang lima tahun, engga ngerti lagi maksudnya :"D. makasih udah baca :)

      Hapus

mau bertukar pikiran?:D

アイサ の ノート © 2014