“Aku ngerasa agak ambigu sama cerita yang kamu bikin, Ren,”
Satu siang di musim ujian. Seseorang memintaku untuk berpendapat tentang apa
yang ia buat. Sebuah cerita tentang cinta, tapi dia lebih suka menyebut
‘sayang’ daripada ‘cinta’.
“Oh ya? Ambigu
bagaimana?” dia bertanya lagi, mencoba membaca pikiran saya. Mungkin.
“Aku ngerasa
kalau.. sebenarnya cewek ini cuma kagum,” aku menyentuh layar handphone yang
menampilkan sinopsis cerita. Ceritanya, temanku satu ini ‘menang’ lelang
sinopsis novel dari satu penerbit dan dalam dua hari harus membuat cerpennya.
“…Dia suka? Bukan
kagum? Aku ngerasanya dia itu cuma kagum, bukan suka. Dia hanya bingung dengan
deskripsi suka dan kagum. Mungkin. Eh, itu cuma pendapatku lho ya,” aku
melanjutkan.
“Oh, jadi, mungkin
di cerpen yang akan dibuat harus ditulis apa yang mau dituju, biar ga ambigu.”
“Iya, kalo kamu
mau dia suka, bilang suka. Kalau kagum, bilang kagum. Sampai yang aku baca
sekarang ini aku masih ngerasa kalau ini hanya sekedar kagum,” aku mengeluarkan
pendapat yang sedikit –entahlah sok tahu. Haha, tapi dia memang butuh
brainstorming dan masukan –walau saran dari saya ga lebih dari sampah.
Baiklah,
mendefinisikan sesuatu itu memang tidak mudah. Definisi itu kalau ditulis bisa
bebas sebebas bebasnya, mungkin bisa sampai puluhan lembar. Coba definisikan
sendiri, apa itu rasa suka? Apa itu kagum? Saya sendiri bingung.
”Menurutmu, apa
yang membuat ini istimewa?” dan ini adalah salah satu pertanyaan yang bisa
membuat saya terdiam lama.
Saya bukan tipe
orang yang suka menilai dengan data: kuantitas atau kualitas. Saya adalah orang
yang menilai semua dengan rasa *haha* ga tau. Kalau saya rasa itu istimewa,
berarti itu istimewa. Kalau tidak, ya tidak. Titik. *terlihat saklek? Mungkin
:D. Oke, dan sebenarnya saya sendiri tidak tahu apa yang membuat itu istimewa.
Saya hanya merasa, itu istimewa. Begitu saja. Hey, bukankah tidak setiap hal
butuh dideskripsikan?
Saya jadi ingat
tentang satu kuliah (yang merupakan salah satu mata kuliah favorit saya di
semester tujuh ini) yang pernah nyerempet
tentang definisi. Di situ dosen berkata bahwa ”banyak sekali para ahli
berlomba untuk membuat definisi, biar dikenal, biar dicatat dalam sejarah.
Berlomba membuat definisi serumit mungkin, sepanjang mungkin, padahal nantinya
semakin banyak yang membuat definisi, akan semakin hilang arti sesungguhnya
instrumen tersebut,”
Dan jadi ingat
lagi, salah satu tugas deskripsi puisi Sitor Situmorang, judulnya malam lebaran
tapi puisinya hanya satu baris: bulan di atas kuburan. Singkat, padat, jelas, tapi pas di deskripsikan
beeuuhhhh sampai dua halaman folio.
Hey, sebenarnya
apa inti post ini? sebenarnya saya hanya ingin menegaskan bahwa setiap orang
memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sesuatu. Setiap orang punya cara
mendefinisikan sesuatu, dan itu adalah keunikan tersendiri bagi orang tersebut.
Maka ... yah... hargai saja pendapat orang lain. Hargai saja, kecuali kalau
benar-benar menyimpang atau salah.
Sekian. Semoga
tulisan ini tidak bermakna ambigu, ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mau bertukar pikiran?:D