“Senyum
mu itu lho, gak natural,” seseorang berkata pada saya, saat melihat foto-foto
selepas suatu acara.
“Haha,
iya gituh?” dan saya menanggapi, tertawa satir.
Senyum
tidak bisa berbohong. Mana yang tulus, mana yang palsu.
“Kamu,
kok kayaknya banyak pikiran ya?”
“Haha,
begitulah,” lagi, saya tersenyum. paksa.
Dan
kemudian, dia terus-terusan membaca mikroekspresi di wajah saya, sampai saya
benar-benar kikuk.
Ah
ya! Tebak saja. Saya memang pemurung, saya memang terlalu banyak memikirkan
sesuatu yang tak perlu, dan saya, iya, saya, merasakan bahagia yang palsu.
Dan
saya tau itu. Sisi kecil dari diri saya sangat tau tentang hal itu. Tapi sang
sisi dominan, tak mau tau.
Bahkan
kamera, yang merupakan benda mati pun bisa membedakan mana senyum asli dan
palsu. Wajah senyum saya tak pernah berhasil membuat sebuah kamera digital
dengan smile sensor menjepret secara
otomatis. Percaya atau tidak? Percayalah. Saya tidak berbohong.
Saya
tidak tahu, kenapa saya susah sekali tersenyum dengan hati. Bukan hanya
melengkungkan bibir ke arah atas saja, bukan hanya sebuah simbol, melainkan
sebuah ekspresi dari dalam diri.
Bahkan,
saya membuat sebuah sajak dengan tema tersenyum pun, malah jatuhnya ke
melankolis-nangis-putus asa begini.
Boleh
saya tulis lagi sajak nya? Baiklah, saya ingin tersenyum lagi... bukan karena
terpaksa.
Ada satu hal yang pernah seseorang katakan
kepadaku
Bila bersedih tersenyumlah
Bila bersedih tertawalah
Karena... itu kan hapus laramu
Dia juga berkata padaku
Senyum adalah senjata
Tertawa adalah obat bagi luka hatimu
Jangan
biarkan senyum hilang dari wajahmu, dari bibirmu
Jangan
biarkan kesedihan, hapus rona wajahmu
Maka
tersenyumlah, tertawalah
Dan
rasakan bahagia mengalir ke dalam jiwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mau bertukar pikiran?:D