Tau Kampus Fiksi? Kampus Fiksi itu diselenggarakan oleh DivaPress yang setiap angkatan ada duapuluhan orang, diadakan setiap dua bulan sekali. Etapi, pembukaan pendaftarannya dua tahun sekali ,_,. udah tau sebenarnya dari lama banget kampus fiksi ini. mulai dari angkatan pertama banget bahkan, tapi engga tertarik ikut. kenapa? soalnya posisi saya dibandung, dan sebagai mahasiswa kere, ongkos bandung-jogja PP itu aga menguras kantong haha :""" dan setelah berbelas-belas angkatan diselenggarakan, saya pun ikutan daftar. iya, daftar. terus lolos, terus dapet angkatan 24 alamaaak yang 'berangkat' tahun 2017 insyaa Allah *dansudahberanjaktua *abaikan. baiklah, jarang-jarang (ato hampir ga pernah malah -__-. label short story hanya tipuan) saya share cerita pendek di blog. tapi kali ini boleh lah saya share. selamat menyimak :)
Ketika
“Ri, mau es puter?” sosok itu tiba-tiba muncul di depan pintu kamar yang
memang sengaja tidak kututup karena udara yang panas. Pandanganku
teralihkan sepenuhnya dari setumpuk soal tutorial di atas meja ke arah pintu.
“Di bawah ada yang
jualan?” tanyaku balik, antusias. Bukan apa-apa, di kota besar seperti ini
hampir tidak pernah ditemukan ‘barang’ seperti itu. Hampir semua manusia di
sini ingin terlihat modern, dan es puter bisa dibilang bukan bagian dari
’barang modern’.
“Nggak,” sosok itu
menggeleng, sembari mengacungkan kedua tangannya yang ternyata sedari tadi
memegang gelas. “Tadi pas perjalanan pulang ada yang jual, terus ternyata aku
ada plastik es, jadi dibungkus dan beli lumayan banyak,”
“Oh…,”
“Boleh masuk?” tanyanya lagi.
Aku memilih diam, hanya mengangguk dan beranjak dari kursi kemudian duduk
di atas karpet. Dia, mas Danu, duduk tepat di sampingku. Punggungnya bersandar
di dinding tembok, dengan kaki di tekuk di depan.
”Gimana kabarmu?” Mas Danu menyerahkan satu gelasnya kepadaku, lalu
tersenyum tipis. Pertanyaan sederhana, tetapi entah kenapa membuatku sedikit
bingung untuk menjawab.
”Eh...baik,” jawabku pelan, lalu menerima segelas es puter dari mas Danu.
Setelah itu, tiba-tiba semua terdiam. Tanpa suara.
***
“Mas mu ada diklat di sini, jadi mau tinggal di rumah sampai tiga bulan ke
depan,” kemarin saat makan malam, ibu banyak bercerita tentang kedatangan mas
Danu yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu –lebih tepatnya tidak memberitahu
ku, tetapi dua hari yang lalu aku menangkap sinyal bahagia dari ibu serta
beberapa menyuruhku untuk membereskan rumah lebih giat. Sesekali aku menimpali
pembicaraan mereka yang masih berlanjut di meja makan, sekedar pemberitahuan bahwa aku juga ada di sana
mendengarkan pembicaraan mereka.
Mas Danu datang di sore hari, lalu mengobrol banyak dengan ibu. Jelas saja,
mereka tidak pernah memiliki waktu sebanyak itu selama sebelas tahun terakhir
ini. Kami bersaudara. Bapak dan ibu bercerai sebelas tahun yang lalu dengan
alasan tertentu, yang mungkin sangat kompleks karena akses ku untuk bertemu bapak dibatasi dengan ketat oleh ibu. Begitu pula
sebaliknya, akses mas Danu untuk bertemu ibu juga dibatasi ketat oleh bapak. Mungkin
dulu ibu pernah menjelaskan alasannya, tapi aku terlalu kecil untuk bisa
mengerti semuanya.
”Mungkin nanti bisa tanya-tanya kalau ada pelajaran yang susah di kuliah,”
ibu menyambung ceritanya lagi.
Ah ya! Mas Danu kan pintar! Dia dulu
kuliah di luar negeri, bisa jadi nanti nilai ujianku jadi bagus. Ya. Aku bukan tergolong mahasiswa brilian,
bahkan bisa dibilang aku ini mahasiswa bodoh. Memang bisa saja kehadiran mas bisa membantu saat
belajar, kalau aku yakin bisa dekat dengannya. Perpisahan selama sebelas tahun
membuatku merasa bahwa dia benar-benar asing sekarang. Apalagi perbedaan usia
kami cukup mencolok, sembilan tahun.
***
”Gimana kuliah?” setelah beberapa menit hanya terdengar denting sendok yang
beradu dengan gelas, akhirnya mas Danu angkat bicara lagi.
”Yah...gitu-gitu aja. Sekarang
lagi musim ujian,” jawabku singkat.
”Eh, tadi lagi belajar? Ganggu nggak ini?” mas Danu terlihat merasa
bersalah.
”Enggak kok,” aku menggeleng. Lagian,
belajar atau nggak belajar hasilnya akan sama saja. Sama-sama jelek.
”Mau ujian apa besok? Barangkali bisa dibantu,”
”Fisika Dasar, tapi masih hari Jumat ujiannya,” sekarang masih hari minggu,
dan aku punya waktu empat hari untuk belajar dari nol.
”Tentang apa?”
”Fluida,”
Kembali hening. aku tidak terbiasa membuka percakapan dengan siapapun. Aku
adalah tipe pendengar, dan tidak terlalu suka berbicara apalagi berbasa-basi.
Aku selalu berusaha membaca pikiran orang, sering menarik kesimpulan tanpa menyanyakan
apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin karena kebiasaan
ini sampai sekarang aku belum memiliki teman dekat di kuliah.
”Hem,” mas Danu meletakkan gelas kosong ke meja kecil yang berada di
samping kami. ”Ingat nggak sama pak Rohmad yang sering jadi langganan kita dulu?”
Pak Rohmad?. Bingung. Aku menggeleng.
”Tukang es puter yang sering lewat di depan rumah dulu,” mas Danu
tersenyum.
Dahiku mengkerut, lalu tiba-tiba bayangan kabur itu tiba-tiba terlihat
sedikit jelas. ”Oh...ya... ingat...”
”Untung ada beliau, jadi kita bisa ngerasain es krim sekarang,” mas Danu
tersenyum.
Ah ya, benar juga. Kami berdua sama-sama alergi protein susu. Kami hampir
tidak pernah memakan makanan olahan dari susu sapi, termasuk eskrim yang sering
jadi primadona di kalangan anak kecil. Konsumsi kami berdua hanya sebatas es
lilin dari sirup yang dibuatkan ibu untuk kami berdua. Dan es puter pak Rohmad merubah segalanya, termasuk kedekatan kami. Dulu setiap kali pak Rohmad lewat dan mas ada di rumah, pasti mas membeli dua. Satu untuknya sendiri,
satunya lagi untukku. Sambil makan es puter, kami bermain kelereng atau kartu
dan selalu aku yang keluar menjadi pemenang –lebih tepatnya di set menjadi
pemenang. Seringkali kami juga bercerita tentang hal-hal aneh walaupun tetap
saja aku belum mengerti semuanya. Kami menjadi sangat dekat, sampai suatu saat
bapak dan ibu bercerai dan kami harus ikut berpisah. Lebih sedihnya lagi, pak Rohmad sudah tidak lagi berjualan. Semuanya menjadi sangat renggang, seperti
tidak pernah terikat satu sama lain saja. Dan mungkin langkah yang diambil mas
Danu sekarang adalah salah satu upaya untuk membangun hubungan yang baik antara
adik dan kakak.
”Em.. mas...” setelah beberapa menit yang berlalu tanpa percakapan, aku
memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan.
”Ya?” mas Danu yang sedari tadi menatap kosong ke arah jendela mengalihkan
pandangannya ke arahku.
”Mau tanya sesuatu,” kataku lagi, sedikit ragu.
”Hem?” mas Danu lalu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih formal.
”Kalau misalnya ngga ada training di sini, apa mas tetap mau pulang ke ibuk?
Maksudnya, kan tahu sendiri akses mas ke ibu dibatasi sama bapak,” aku
berbicara sambil terbata. Kulihat gerak mas Danu menjadi sedikit canggung. Dia
terdiam cukup lama.
”Kenapa nanya itu?” mas Danu balik bertanya.
”Sebelas tahun, dan kabar yang diberikan itu ngga sebanding sama
kekhawatiran ibuk,” jawabku dengan nada datar, seolah aku tidak mau terbawa
emosi.
”Haah...,” mas Danu menghela nafas panjang, lalu terdiam sebentar.
”...kalau ngga ada training, pastinya akan pulang. Tapi ngga tau kapan.
Menunggu saat yang tepat. Dan mungkin sekarang adalah saat yang tepat,” mas
Danu tersenyum. Ada jutaan makna tersirat yang bisa kulihat dari caranya
menggerakkan bola mata, dari senyumnya, dari gerak tubuhnya. Mungkin aku tahu.
”Mungkin nanti kita beli es puter lagi, dan cerita-cerita lagi,” mas Danu
angkat bicara lagi. ”...terus main kartu lagi, tapi kali ini ga ada lagi alasan
buat yang lebih muda menang,” lalu dia tersenyum.
”Oke,” dan aku ikut tersenyum, sedikit lega.