Saya berasal dari Kota Surakarta (Solo, Jawa Tengah) dan saya beragama Islam. Berasal dari Kota Surakarta bukan berarti keseharian saya masih berbasis kejawen ~yang merupakan salah satu khas dari kehidupan di lingkungan keraton~ karena letak rumah saya lumayan jauh dari Keraton Kasunanan Solo (sekitar kurang lebih 8 km).
Setiap tahun Keraton Kasunanan selalu menggelar acara rutin misalnya kirab mubeng beteng, sekatenan, grebeg mulud, dan kegiatan yang lainnya. Acara tersebut merupakan beberapa contoh dari proses asimilasi budaya yang dikembangkan oleh wali sanga pada zamannya, yang dulu dapat dikatakan sebagai salah satu media dakwah mereka. Acara tersebut menyatukan adat daerah kejawen dan adat islam. Pada zaman dahulu untuk memberikan suatu pelajaran yang samasekali baru butuh perjuangan yang sangat keras. Kebudayaan yang telah tertanam lama di kehidupan sehari-hari tidak bisa begitu saja dihilangkan, maka diadakanlah suatu acara (adat) baru yang berbasis islam tetapi masih berbudaya, tetapi lagi, tidak menyentuh unsur yang tidak cocok dengan islam, misalnya memakai sesajen. Contoh acara yang lumayan terkenal adalah acara sekaten. Acara sekaten (diambil dari kata syahadatain) misalnya, merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari dan diadakannya pasar malam sebelum perayaannya. Acara ini merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Tentang kebudayaan turunan ini, kalau boleh berpendapat, saya sendiri tidak masalah dengan kebudayaan seperti ini karena memang budaya harus dilestarikan. Yang saya tidak setujui adalah bila dalam pelaksanaan kebudayaan tersebut terselip secara sengaja maupun tidak sengaja dengan unsur syirik (bisa dikatakan menduakan Tuhan), misalnya masyarakat percaya bila mendapat sesuatu saat upacara kirab yang rebutan gunungan itu bila disimpan hidupnya akan aman. Nah, yang menentukan aman atau tidaknya diri kita kan Tuhan, bukan adanya benda dari gunungan itu. Salah satu kekurangan budaya seperti ini adalah adanya hal yang sebenarnya tidak ingin dilestarikan malah terlanjur dilestarikan. Misalnya kalau ngga rebutan gunungan tadi, terus dikantongi dan disimpan, yang belum afdol rasanya. Kadang asimilasi budaya malah menghasilkan sebuah sudut pandang yang berbeda.
Tapi setiap orang pastilah tidak memiliki suatu pandangan yang sama tentang suatu hal, apalagi tentang hal yang satu ini, kepercayaan dan kebudayaan. Agama saya mengajarkan kebaikan dan mengajarkan tentang bagaimana menghargai sesama manusia walaupun itu berbeda kepercayaan. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Dalam hidup berbangsa dan bernegara seperti sekarang, suatu keyakinan dan kebudayaan masing-masing orang tidak boleh kita cela bila tidak sesuai dengan apa yang kita anut dan kita percayai. Yakinlah pada diri sendiri bahwa apa yang kau jalani sekarang adalah benar, bila masih ragu maka carilah mana yang tidak membuatmu ragu. Hidup harus penuh pengertian baik kepada orang lain maupun pada diri sendiri. Dengan adanya sikap toleransi antar umat beragama dan berbudaya, hidup pasti akan terasa lebih nyaman.
(maaf kalau ini postingan nyebut agama, soalnya tugasnya memang disuruh begini, heu heu, sippp)